Strony

Rabu, 25 Juli 2012

Mum isn't a Liar

:belum di-edit, image manager/ilustrasi cerita ini bakal ditaruh di fictionpress:
//
Tapi Dad salah; afeksi itu tidak dapat dibatasi—Mum bakal selalu ada dengan kasih sayangnya. Percaya padaku, Dad. Kita sama-sama yang kehilangan.
Mum isn’t a Liar is garrette’s
.

untuk kalian yang meninggalkan; rasa itu masih begitu nyata—kalian akan selalu ada, kami tahu, terima kasih—
.

“Sudah Dad bilang kalau Mum adalah pembohong.”

Berkali-kali Dad mengatakan itu padaku dengan kedua bola mata abu-abunya yang sayu. Gurat wajah itu masih menampilkan mimik yang begitu sedih; masih sama-sama menyesakkannya ketika Dad menapakkan kaki beralaskan sepatu hitam itu memijak pada rumput basah di pemakaman, tadi sore.

Awalnya aku tidak mengerti, ketika pagi-pagi sekali, rumah sudah sangat ribut; aku sendiri masih memakai piama bergambar beruang dengan warna dasar hijau, dan rambut cokelat bergelombangku masih seperti singa, dan, oh, hijaunya mataku—warisan dari Mum—masih begitu sayu. Kemudian aku temukan Mum yang tergeletak di sofa panjang itu, rambut pirang bergelombangnya begitu rapi, dan wajahnya begitu damai—begitu cantik.

Kupikir Mum bakal pergi ke sebuah pesta hingga terlihat begitu cantik, dan ketiduran—meskipun Mum hanya memakai kaos merah berlengan panjang, dan jeans birunya—tapi pikiran itu langsung hilang kala Dad datang dari luar dengan wajah frustrasinya sambil berkata, “Serangan jantung mendadak,” di telepon bersamaan datangnya para tetangga.

Mungkin aku memang masih terlampau kecil; rambutku masih saja diikat dua, dan kadang aku suka nyengir sambil menampilkan satu gigi ompongku, tapi aku sudah cukup mengerti keadaan.

Apalagi ketika Dad memandangku dengan tatapan sedih, kemudian datang memelukku, dan bilang, “Mum adalah pembohong.”

Suara Dad terdengar sangat lembut lagi getir. Dan entah kenapa aku menangis saat Dad melanjutkan kata-katanya.

“Dia tidak bakal mendongeng lagi padamu, kau tahu? Mum pembohong, padahal dia sudah janji untuk mendongeng terus padamu.”

Aku tidak percaya kalau Dad berani-beraninya mengatakan kalau Mum pembohong. Nanti, kalau saja Mum bangun, aku akan menubruk Mum, dan memeluknya, dan, dan mengadukan pada Mum bahwa Dad mengejek Mum.
.
.
Dan, nyatanya, aku sama sekali tidak mengerti kenapa Mum masih saja menutup mata—hingga jarum pendek pada benda berbentuk bulat itu menunjukkan angka 3.

Tidak. Tidak. Aku tidak mengerti. Aku tidak mengerti kenapa, kenapa Mum dimasukkan ke dalam peti mati dan dibawa masuk ke dalam tanah? Aku hanya mengerti bahwa Mum sedang sakit, dan pasti Mum membuka matanya setelah serangan jantung itu pulih—karena Mum sudah terbiasa seperti itu, dia suka memegang jantungnya sendiri dengan pipinya yang memerah, dan akhirnya tidur.

Kata Mum, dia  begitu karena terkena serangan jantung dari Dad—jadi dia hanya perlu tidur, dan semuanya bakal kembali seperti biasa.

Namun, kenapa kali ini berbeda? Kenapa Mum harus ditempatkan di tempat seperti itu? Mum hanya perlu ditempatkan di tempat tidur; aku sudah bilang berkali-kali soal ini pada siapa pun, tapi jawaban yang kutemukan tetap sama.

“Tempat tidur baru Mum adalah makam ini.”

“Hah? Nggak mungkin, kan, Mum mau tidur di tempat kasar seperti tanah itu?”

Lalu semuanya hening. Semuanya bergeming, kecuali embusan napas mereka dan kelopak-kelopak mata yang terbuka-tertutup karena—mungkin—bingung untuk menjawab apa.

Dan, kemudian, ada orang baik yang membuat hatiku ngilu.

“Ibumu sudah tidak ada. Dia sudah pergi dari dunia ini—“

Aku menahan napas, kolam hijauku semakin melebar, lengan boneka beruangku kupegang dengan erat; seakan berharap bahwa kalimat selanjutnya adalah main-main.

“—Ibumu meninggal.”

Setidaknya aku mengerti arti kata ‘meninggal’.

Kemudian pandanganku mulai mengabur, dan aku merasakan ada sepasang tangan yang melingkar di perutku—oh, itu tentu saja Dad, karena setelahnya dia membisikkan sesuatu dengan suara baritonnya, “Ibumu pembohong. Dia tidak akan terus bersamamu.”

“Jangan menangis. Kumohon.”

Tapi, Dad, aku ini anak kecil; aku pasti cengeng, aku pasti menangis. Jadi bawalah saja aku pulang ke rumah, dan Dad jelaskan semuanya, oke? Jelaskan bahwa Mum pasti bakal dan akan pulang. Mum pasti selalu ada bersama kita.

Oh ya, Dad, katakan juga bahwa Mum bukan pembohong.
.
.
Aku belum bilang pada Dad, bahwa aku ingin Dad mengatakan kalau Mum bukan pembohong; aku tidak berani. Dad terlalu depresi hari ini—kerap aku melihatnya mondar-mandir membuat kopi, dan memandangi foto Mum, kemudian menangis, dan tertidur, dan ketika bangun lagi, Dad akan melakukan hal yang sama.

Pun aku bersyukur karena Dad sempat masuk ke kamarku malam ini; Dad membuka pintu berwarna merah jambuku pelan, kemudian menutupnya kembali tak kalah pelan. Kemudian, kemudian Dad mengecup keningku seraya menidurkan dirinya di sampingku—padahal ranjang ini begitu kecil untuknya, tapi dia rela menekuk kedua lututnya agar bisa tidur bersamaku.

Senang, tentu saja. Tapi Dad masih mengutarakan bahwa Mum pembohong.

Aku tidak suka. Mum bukan pembohong—ayolah, Mum bukan pembohong; Mum pasti masih ada di sini. Aku bukannya tidak ingin menerima kenyataan. Pernah menonton film hantu atau apalah itu? Pasti arwah Mum ada di sini. Mum pasti sedang memelukku seperti Dad.

Pasti. Aku percaya; meskipun jika nanti aku katakan hal ini pada Dad, dia bakal bilang aku berkhayal…. Aku tetap percaya;

karena aku masih bisa membayangkan kecupan-kecupan Mum ketika aku menutup mata, merasakan desiran bahagia ketika bibir itu menyentuh keningku, tersenyum kala suara lembutnya merasuki otakku, dan mengantuk saat Mum mulai mendongeng. Dan—sesuatu hal yang paling-paling istimewa—semua terasa begitu nyata.

Jadi, aku memiringkan badanku menghadap Dad. Aku meletakkan kedua telapak tanganku di pipinya, mengelus sebentar jenggot halusnya, dan memanggilnya, “Dad?”

“Hm?”

Aku mengambil napas, kemudian membuangnya. “Dad benar-benar mengira Mum pembohong?”

“Yeah…. Mum sendiri yang bilang akan terus bersamamu, kan?”

“Memang benar begitu.”
“Jadi?”

Aku sedikit menaikkan posisi tidurku, mendekatkan kedua belah bibirku pada telinganya. “—Mum masih ada. Trust me, Dad. Masih. Coba bayangkan Mum yang ikut tidur di sini,” bisikku padanya.

“—Dan rasakan kebahagiaan yang kaudapat ketika kaurasakan kehangatan Mum,” pintaku.

Dad mengangguk lemah, senyumnya mulai terukir. Dia mengacak-ngacak rambut cokelatnya, kemudian menangkupkan wajah mungilku di tangan besarnya, dia berbisik,

“—Ada. Benar-benar ada. Tidurlah, Sayang. Tahun-tahun berikutnya, kau akan melihat Mum lagi.”

“Oke. Tapi bagaimana cara bertemunya?”

“Berceminlah.”

“Benarkah?” bisikku.

“Kau tidak percaya pada Dad, hm?” tanya Dad, menggodaku.

“Tidak. Bagaimana aku bisa percaya? Itu aneh sekali, Dad,” kataku, meragukan Dad. Oh, yeah. Mata kelabu Dad memandangku gemas, tangan besar Dad mulai bergerak ke perutku, dan membutku tertawa terbahak-bahak karena klitikannya. “Kau mau tahu kenapa bisa kamu bertemu Mum?”

Aku tertawa, dan pelan-pelan menjawab, “Ti-tidak, Dad! Hentikan, geli!”

Dad berhenti, dia menatap mata hijauku dalam-dalam. “Karena kau adalah Mum. Kau cerminan Mum. Kau menguarkan kasih yang sama seperti Mum.” Kemudian Dad mencium keningku, meletakkan dahinya di dahiku, dan berlomba denganku untuk memasuki alam mimpi.

.
—dan kami akan selalu ingat.
.
fin.
thanks for reading everyoneeeee!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Szablon - Nikumu
Grafika - Zerochan.